Senin, 04 Februari 2013

Meningkatkan Kesadaran Pada Sejarah

 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
kesadaran sejarah itu penting tergantung pada cara pandang kita tentang manfaat dan mudharatnya. Manfaat mudharat ini juga sangat tergantung pada batas-batas pemahaman tentang makna sejarah. Sebagaimana akar katanya, sejarah (dari bahasa Arab) syajarah yang berarti pohon, pemaknaan majas identifikatif yang menggambarkan pohon keluarga berpangkal, bercabang dan beranting. Dalam bahasa arab untuk menunjuk pada istilah yang mirip dengan sejarah dalam bahasa Indonesia dikenal kata tarikh. Pengertian tarikh menunjuk pada makna penentuan tanggal / titi mangsa suatu peristiwa besar dalam zharaf atau ruang dan waktu yang jelas. Istilah lain yang sejenis adalah history (Inggris), historia, histor, istor (Yunani) yang berarti penelitian / orang pintar.

Bangsa Arab memiliki paling tidak ada  alasan mengapa syajarah famili ini penting, pertama pertimbangan kehormatan keluarga, seseorang dihormati karena garis keturunannya. Kedua untuk menghindari perkawinan keluarga yang terlalu dekat yang sangat diyakini oleh bangsa arab akan menurunkan kualitas ketahanan fisik maupun mental dalam menghadapi tantangan alam yang demikian keras. Tarikh yang merujuk pada pencatatan peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa besar dalam konteks ruang, waktu dan orang pada zamannya. Historia merujuk pada pemaknaan atau manfaat internal dan eksternal dari historiografi.

1.2.Rumusan Masalah
1.            Apa saja Sejarah itu ?
2.            Bagai Mana kesadaran sejarah bertaut erat dengan peristiwa sejarah, fakta sejarah Itu Sendiri ?

1.3.Pembatasan Masalah

Karena cangkupan Kesadaran sedaran sejarah, maka kami hanya membataskan penelitian hanya dari segi meningkatkan kesadaran pada sejarah. Serta perkembangnnya sampai dengan sekarag ini.



 


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Memahami kesadaran sejarah
Memahami kesadaran sejarah niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara terbalik bisa dilukiskan begini; kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan. Kesadaran tentang sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.
Sejarah dalam kerangka kilmuan (ilmu sejarah) memiliki watak tridimensional, yaitu kesinambungan antara hari kemarin, hari sekarang, dan hari depan. Tidak dapat di sangkal bahwa tekanan penyelidikan sejarah adalah “the past” atau hari kemarin. Akan tetapi, ini bukan berarti menafikan pentingnya mempertautkan hari kemarin dengan hari sekarang dan hari depan. Ketiga komponen waktu tersebut bertaut erat, tidak terpisah dan tidak bisa di pisahkan antara satu dengan yang lain.
Masa lampau adalah bijakan bagi kehadiran masa kini dan masa kini adalah kerangka pematangan menuju masa depan. Serta masa depan adalah sesuatu yang belum, namun pasti akan terwujud. Atas dasar pemikiran ini, sejarah dapat dipahami sebagai masa lampau yang belum berakhir, belum selesai. Sepintas tampaknya pemikiran ini lebih menekankan pada dimensi kelampauan. Akan tetapi, secara implisit yang lebih menyemangati kontinuitas tridimensional waktu, dengan perhatian yang besar pada masa depan. Oleh sebab itu, pemahaman sejarah, pendidikan sejarah yang hanya menitikberatkan pada statistik peristiwa masa lampau, sebenarnya hanya akan memasung kedewasaan kesadaran tentang sejarah.
Ini perlu di garis bawahai lebih awal, sebab dalam beberapa hal pengertian tentang kesadaran sejarah bertaut erat dengan peristiwa sejarah, fakta sejarah. Hal ini tampak pula dari pandangan Ismail yang berpendapat bahwa, “Kesadaran sejarah memang harus di mulai dengan mengetahui fakta-fakta sejarah. Malahan adakalanya harus pula pandai menghafalkan kronologi tahun-tahun kejadian dalam sejarah itu, Plus pengetahuan dengan sebab musababnya antara fakta-fakta itu”.
Dalam batas-batas tertentu, pembinaan kesadaran sejarah yang mula-mula harus bertumpu pada pengetahuan tentang fakta sejarah, mengandung kebenaran yang dapat di pertanggungjawabkan. Akan tetapi, fakta sejarah belum cukup, dan ini diakui pula oleh Ismail.
Apabila fakta sejarah menjadi barometer utama membina kesadaran sejarah, secara tegas saya mengajak kita sekalian untuk meragukan intensitas kesadaran sejarah yang telah kita semaikan selama ini di dalam sanubari masing masing sebab hanya bila fakta sejarah yang menjadi ukuran dalam kesadaran sejarah, niscaya banyak di antara kita yang di katagorikan tidak atau kurang memiliki kesadaran sejarah.
Argumentasi sederhana, fakta sejarah berhubungan dengan pristiwa serjarah. Nah, berapa besar pengetahuan kita tentang pristiwa sejarah daerah. Umpamanya : seberapa besar masyarakat pada suatu daerah mengetahui fakta atau peristiwa sejarah yang ada di daerahnya.
Jadi. Kalau fakta sejarah merupakan pintu masuk paling awal untuk memupuk kesadaran sejarah suatu masyarakat, dan berdasarkan kenyataan yang hampir dapat dipastikan berlaku untuk umum tentang keringnya pengetahuan fakta sejarah yang dimiliki oleh masyarakat, sudah dapat diprediksikan masyarakat yang senantiasa berada diluar kamar kesadaran sejarah.
Tentunya, fakta sejarah dan seperti sudah disinggung diatas bukan merupakan unsur satu – satunya dalam membina kesadaran sejarah. Yang terpenting mengapresiasi secara cerdas kausalitas peristiwa dalam konteks kekinian untuk tujuan yang lebih kedepan, maka hakikatnya kita telah berupaya memaksimalkan kesadaran sejarah. Tetapi,bagaimanapun juga pristiwa sejarah tetap harus menjadi elemen yang perlu di perhatikan dalam pembinaan kesadaran sejarah khususnya di daerah mengingat masihsangat banyak pristiwa sejarah didaerah yang belum tergali secara optimal terlebih lagi belum banyak ditekuni oleh masyarakat, bahkan ada kesan bahwa terjadi semacam gerakan untuk menjauh dari ingatan masa lampau.
Apa yang didiskusikan di atas pada hakikatnya memercikan sebuah keyakinan mendasar bahwa kesadaran sejarah tidak semata-mata terkontak dalam pengetahuan tentang fakta sejarah melainkan lebih dari fakta sejarah.Lebih dari fakta sejarah berarti selain fakta sejarah, kesadaran mencerminkan pula; pertama kausalitas fakta, kedua munculnya logika dari kausalitas itu dan ketiga, adanya sikap kearifan yang tinggi.
Dengan demikian kesadaran sejarah tidak lain sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap berada dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, kita seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini. Inilah esensi dari ungkapan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam menghadapi segenap peristiwa sejarah, yang terpenting bukanlah “bagaimana belajar sejarah, melainkan bagaimana belajar dari sejarah”. Prinsip pertama akan membawa kita pada setumpuk data tentang peristiwa masa lampau, sedangkan prinsip kedua akan mengisi jiwa kita dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana, sebagaimana inti dari kesadaran sejarah.
Sejauh ini telah dibahas  dan dipahami serba sedikit tentang kesadaran sejarah,meskipun tampaknya pemahaman di atas terkesan agak filsofis. Kesadaran sejarah perlu dibina khususnya di kalangan generasi muda. Pendeknya dibutuhkan untuk membuat masyarakat lebih arif dan bijaksana dalam melakoni masa  yang belum pasti, paling tidak kesadaran sejarah akan mengantarkan kita untuk tidak akan berbuat salah untuk kesalahan yang sama dimasa yang akan datang.


2.2. Memaknai Sejarah.
Pilihan makna sejarah yang dianut dalam sistem bernegara dan bermasyarakat akan menentukan orientasi (penulisan dan pemanfaatan) sejarah suatu masyarakat. Secara lebih mendalam pilihan orientasi ini akan berpengaruh terhadap mentalitas suatu kelompok masyarakat. Jika sejarah dimaknai sebagai penggambaran kehidupan kolektif masa lalu, maka pengalaman kolektif itulah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam menentukan identitasnya. Pengalaman kolektif itu disosialisasikan dan ditransformasi dari generasi ke generasi dan membangun kebanggaan kolektif disamping asal usul atau trah. Dengan pandangan ini maka untuk melacak dan merekonstruksi bangunan budaya suatu masyarakat harus dilacak dengan sejarah dini bahkan sampai ke mitologinya.

Dalam perkembangan peradaban, keseluruhan informasi tentang masa lalu suatu masyarakat sangat penting dalam merancang bangun arah pengembangan sosial dalam peradaban yang dijalaninya serta pencitraan komunitasnya. Namun satu hal yang harus dicatat dalam pemanfaatan informasi masa lalu adalah masih bercampur aduknya informasi faktual dengan mitos, legenda, saga dan berbagai bentuk folklor lain yang sangat bervariasi antar lokus. Dalam studi sejarah peradaban kedua aspek tersebut memiliki peran tersendiri memaknai sejarah dalam sebuah komunitas budaya. Keragaman informasi masa lalu kemudian menjadi bahan baku dalam histiografi yang melahirkan berbagai cabang sejarah secara substansial : sejarah politik, sejarah sosial, sejarah mentalitas, sejarah agraris, sejarah kebudayaan dan lain-lain.

Sejarah menjadi bermakna atau tidak sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk merumuskan makna itu. Secara intrinsik, sejarah merupakan salah satu metode untuk mengetahui masa lalu, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai pernyataan pendapat dan sejarah sebagai profesi. Secara ekstrensik sejarah dapat berfungsi sebagai pendidikan moral, politik, penalaran, keindahan, perubahan, dan pendidikan masa depan. Disamping itu sejarah juga berfungsi sebagai latar belakang atau pendahulu historis suatu keadaan atau peristiwa, sebagai alat pembuktian dan sebagai rujukan.

Demikian banyak fungsi, makna dan manfaat sejarah dalam membangun peradaban dan sekaligus menata sistem ketahanan budaya manusia baik secara individu maupun secara sosial, tetapi sangat sedikit orang yang peduli dan memanfaatkan. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan metode sejarah dalam ilmu-ilmu sosial maupun rancang bangun sosial harus menggunakan metode longitudinal yang cenderung kurang menarik dalam peradaban instan dan pragmatis saat ini. Memaknai sejarah dalam kehidupan akan membantu seseorang atau suatu komunitas untuk mengenal sejarah mentalitasnya, sejarah sosial, sejarah budaya dan sekaligus akan dapat dijadikan pertimbangan dalam rancang bangun peradabannya ke masa depan.

2.3. Kesadaran Sejarah
Jika kita memandang folklor dan mitologi sebagai dongeng atau sebagai alat gegoyonan yang menghibur, berarti kesadaran sejarah kita sangat rendah. Demikian pula jika kita menganggap peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan suatu tempat, suatu masa dan seseorang yang berujung pada kepercayaan mistis dan kultus, juga merupakan indikator kesadaran sejarah yang rendah. Pola kepercayaan mitis dan pandangan kultus merupakan bentuk pemaknaan sejarah secara tradisional dan tentu saja akan mengungkung masyarakat dalam stagnasi peradaban dalam arus deras modernitas. Munculnya pola kepercayaan dan cara pandang mitis dan kultus disebabkan karena kurangnya informasi dan referensi yang berkaitan dengan aspek-aspek historiografis seperti ruang, waktu, proses interaksi, konteks, tokoh dan lain-lain.

Kesadaran sejarah juga tidak diwakili dengan penguasaan tentang informasi-informasi masa lalu, atau penguasaan tentang peran tokoh-tokoh dalam peristiwa itu, tetapi kesadaran sejarah adalah kesadaran tentang proses dinamis masyarakat dalam dialektika ruang dan waktu yang terus berubah. Kesadaran sejarah yang demikian melahirkan pandangan kritis terhadap penisbian terhadap suatu kejadian dan tokoh masa lalu, dan membuka ruang diskusi untuk mempermasalahkan, melengkapi, meluruskan bahkan menolaknya sebagai suatu peristiwa sejarah.

Hanya dengan pandangan yang demikian sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi masyarakat. Kemampuan melihat hubungan dinamis antara kejadian-kejadian atau tokoh-tokoh masa lalu dalam dimensi ruang dan waktu (dengan metodologi tertentu) akan melahirkan suatu kerangka acuan yang absah untuk mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan aktual saat ini dan menghadapi masa depan. Para sejarawan mengasumsikan adanya hukum sejarah yang tetap dan tidak berubah jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain, historiografi mengisyaratkan adanya gejala generalisasi dalam penarikan pelajaran. Tentu saja kondisi ini juga membutuhkan kritik materi dan kritik konteks yang lebih mendasar.

Menarik pelajaran dan hikmah dari kesadaran sejarah kalau merujuk pada konsep tarikh, yaitu suatu peristiwa yang terikat oleh zharaf (ruang dan waktu) menjadi sesuatu yang mengandung kenisbian yang bersifat idiomatik. Dengan demikian semakin jelas kita membedakan seorang nara sumber sejarah yang memahami seluk-beluk peristiwa sejarah dengan seorang yang memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah inilah yang menjadikan sejarah bermakna bagi masyarakat. Sejarah menjadi tidak tertelan zaman dan melahirkan mitos-kitis dan pengkultusan.
2.4. Mendidik Kesadaran Sejarah
Jika kita dihadapkan pada pertanyaan sederhana ”siapakah dirimu”, maka kita tidak bisa menjawab secara serta merta seperti jika ditanya di mana rumahmu. Pertanyaan itu bisa menjadi multi interpretasi dan membutuhkan penjelasan yang sangat panjang tentang masa lalu yang berkaitan dengan banyak aspek. Jawaban terhadap pertanyaan itu bisa memiliki konteks individu, keluarga, budaya dan bangsa yang masing masing memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Ketika kita mulai mengabaikan masa lalu pada saat itu kita akan mulai kehilangan jejak yang akan digunakan untuk merekonstruksi ”jati diri” kita.

Mendidik kesadaran sejarah tidak saja berkaitan dengan upaya mentransfer informasi tentang masa lalu keluarga atau trah, masa lalu sebuah budaya atau perjalanan kebangsaan, tetapi lebih pada bagaimana seseorang memposisikan diri dalam mata rantai generasi dalam proses budaya. Posisi yang dimaksud dalam hal ini adalah peran dan fungsi seseorang atau suatu komunitas dalam proses sejarah menuju budaya yang bermartabat dengan segala aspeknya. Dalam konteks ini seseorang atau suatu generasi membutuhkan informasi tentang masa lalu yang jujur, transparan, dan disampaikan dengan kearifan.
Sejarah Nasional yang saat ini mulai berani diperdebatkan, harus diterima sebagai suatu kenyataan yang diakui kebenarannya pada zamannya, dan bermanfaat untuk mendukung suatu kepentingan pada zamannya. Sikap kritis terhadap penulisan sejarah saat ini disebabkan karena semakin banyaknya informasi pendukung yang dapat dijadikan bahan diskusi dan kritik intrinsik sejarah. Permasalahannya adalah siapa yang akan berfungsi arbitrase dalam kritalisasi sejarah menjadi sejarah yang jernih sebagai tempat bercermin.

Perekayasaan dan manipulasi alur sejarah akan melahirkan generasi dan kebudayaan yang ahistoris dan pada saatnya akan tersesat karena tidak mampu lagi menemukan salah satu mata rantai ke akar yang menghidupinya. Kondisi seperti ini tidak saja terjadi pada penulisan sejarah nasional, tetapi juga pada sejarah lokal. Dalam proses penyadaran sejarah, proses kesejarahan disajikan secara lengkap, dengan sistem periodisasi yang mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.

Dengan pola pemikiran historiografis tersebut, maka pendidikan kesadaran sejarah merupakan proses transformasi kesejarahan yang diaktualisasikan dalam proses pemikiran kritis yang konstruktif. Dalam aktualisasinya, ada beberapa pertimbangan strategis yang perlu mendapat perhatian antara lain :
1.    Tidak menempatkan sejarah sebagai nostalgia atau romantisme masa lalu atau pelarian dari tekanan realisme yang penuh masalah.
2.    Memahami sejarah sebagai kerangka perjalanan kausalitas antara masa lalu masa kini dan masa depan.
3.    Sejarah harus dipandang sebagai realitas yang terus menerus bergerak dan tidak berujung pada harapan-harapan yang a historis, seperti ratu adil dan sejenisnya.
4.    Sejarah harus disajikan sebagai materi penyadaran dengan obyektif dan tanpa ada kepentingan selain untuk keberlangsungan proses sejarah secara normal.
5.    Informasi sejarah harus rasional, memenuhi standar historiografi yang membebaskan subyeknya dari mitos dan kultus. Dengan kata lain, peninggalan dan bukti sejarah yang disajikan harus memenuhi persyaratan kritik intrinsik maupun ekstrinsik.

Dalam rangka transformasi kesejarahan dan membangun kesadaran sejarah, maka pendidikan sejarah harus dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan media. Untuk itu memang harus melakukan perekayasaan sistem secara komprehensif karena ruang lingkup sejarah yang sangat luas dan kompleks. Pendidikan kesadaran sejarah tidak bisa terlepas dari sistem dokumentasi yang kuat dan kemampuan menggunakan dokumen dan bukti-bukti sejarah (ideofact, sociofact, artefact, dll) dengan cermat. Mungkin disinilah letak kelamahan kita, karena kita tidak memiliki sumberdaya manusia yang relevan seperti sejarawan, arkeolog, filolog, dan sejenisnya.

Kondisi pendidikan kesadaran sejarah saat ini yang paling mungkin dilakukan melalui institusi pendidikan, wisata sejarah, museum dan kearsipan. Untuk itu perlu dilakukan beberapa pembenahan penting seperti :
1.    Penulisan Sejarah Lokal dengan obyektif dan menggunakan metodologi serta pendekatan historiografi,
2.    Perekayasaan kurikulum sejarah yang mengutamakan kesadaran sejarah, bukan pada transfer informasi kesejarahan.
3.    Penataan dan pemeliharaan warisan budaya (situs dan benda cagar budaya) sebagai bukti sejarah dengan deskripsi yang rasional dan faktual.
4.    Peningkatan sumberdaya manusia tenaga kearsipan baik dalam bidang profesionalitas dan penguasaan substansi dan metode kesejarahan.
5.    Pembinaan guru sejarah, sumberdaya manusia yang bekerja pada bidang kesejarahan serta masyarakat sejarawan sebagai mitra dan jejaring kerja dalam pembinaan kesadaran sejarah masyarakat.

Pada akhirnya, kesadaran sejarah sangat dibutuhkan dalam rangka membangun bangsa yang maju, memiliki jati diri yang bermartabat. Dengan kesadaran sejarah ini masyarakat dapat mencatat akumulasi pengalaman sejarahnya masing-masing untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Uupaya ini dalam kondisi masyarakat Indonesia dan NTB pada khususnya masih sangat memerlukan dukungan dari kebijakan pemerintah sebagai patron.

 


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
kesadaran sejarah itu penting tergantung pada cara pandang kita tentang manfaat dan mudharatnya. Manfaat mudharat ini juga sangat tergantung pada batas-batas pemahaman tentang makna sejarah. Sebagaimana akar katanya, sejarah (dari bahasa Arab) syajarah yang berarti pohon, pemaknaan majas identifikatif yang menggambarkan pohon keluarga berpangkal, bercabang dan beranting. Dalam bahasa arab untuk menunjuk pada istilah yang mirip dengan sejarah dalam bahasa Indonesia dikenal kata tarikh.
Memahami kesadaran sejarah niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara terbalik bisa dilukiskan begini; kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan. Kesadaran tentang sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.


3.2. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun agar penulis mendapatkan membelajaran baru. Dan semoga makalah ini dapat menjadi tempat mendapatkan ilmu pengetahuan baru.



 


DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi dalam kehidupan beragama. Toleransi adalah sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah kehidupan beragama. Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini.

Sebagaimana dalam konsep hidup beragama mencakup tiga kerukunan, yakni: Kerukunan intern umat beragama, Kerukunan antar umat beragama dan, Kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah. Hal ini harus dihormati, ditaati dan dijalankan dengan kecerdasan hati, bukan dengan kekuatan otot bahkan dengan cara anarkis.

 

 

1.2. Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Kerukunan umat beragama?

2.      Apa pengertian Landasan Hukum ?

3.      Apa pengertian sosiologi hukum ?

 

1.3. Batasan Masalah

Karena karena kerukunan yang harus diterapkan, maka kami hanya membataskan penelitian hanya dari Pembatasan Masalah. Karena cangkupan kebudayaan yang begitu luas dan meliputi berbagai aspek kehidupan, maka kami hanya membataskan penelitian hanya dari segi kerukunan umat dan berkembangnnya sampai dengan sekarag ini. Serta perkembangnnya sampai dengan sekarag ini.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Kerukunan umat beragama

Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini. Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak. Tak hanya masalah adat istiadat atau budaya seni, tapi juga termasuk agama.

Walau mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa agama lain yang juga dianut penduduk ini. Kristen, Khatilik, Hindu, dan Budha adalah contoh agama yang juga banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, kita harus menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia agar negara ini tetap menjadi satu kesatuan yang utuh.

 

Persamaan Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama. Tidak bisa dibantah bahwa pada akhir-akhir ini, ketidakerukunan antar dan antara umat beragama (yang terpicu karena bangkitnya fanatisme keagamaan) menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang menunjukkan diri sebagai manusia beriman (dan beragama) dengan taat, namun berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka yang berbeda agama.

 

Disinilah letak salah satu peran umat beragama dalam rangka hubungan antar umat beragama, yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus tidak menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan. Di balik aspek perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak berubah, yaitu credo atau pengakuan iman. Credo merupakan sesuatu khas, dan mungkin tidak bisa dijelaskan secara logika, karena menyangkut iman atau percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama melakukan pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan, karena berbagai sebab, bisa berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain sebagainya, kemudian berujung pada konflik.

 

Di samping itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah, ikon-ikon atau lambang keagamaan, cara dan suasana penyembahan atau ibadah, termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali menjadi faktor ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama. Jika semua bentuk pembedaan serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan oleh masing-masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya, masyarakat mudah terjerumus ke dalam pertikaian berdasarkan agama (di samping perbedaan suku, ras dan golongan). Untuk mencegah semuanya itu, salah satu langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat beragama. Suatu bentuk kegiatan yang harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat beragama.

 

 

"Rukun" dari Bahasa Arab "ruknun" artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda agama

 

1.      Trilogi Kerukunan umat Beragama

Hidup di era sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi kehidupan yang serba majemuk dalam segala bidang kehidupan. Semua keberanekaragaman ada dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Dalam berpolitik misalnya adanya perbedaan partai, perbedaan sudut pandang dalam isu-isu nasional, maupun perbedaan falsafah dan ideologi yang dianut oleh masing-masing orang meskipun, di Indonesia sendiri sudah ada ideologi pemersatu yakni pancasila. Sedangkan dalam bidang sosial dan budaya adalah adanya perbedaan suku, etnik, adat-istiadat, norma, termasuk agama yang masing-masing dianut oleh warga negara Indonesia.

 

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi dewasa ini semakin mempercepat arus interaksi antara satu dengan yang lainnya sehingga keberagaman pun tidak hanya dalam lingkup terbatas disekitar tempat tinggal akan tetapi juga dalam interaksi dengan orang lain pada media cetak maupun elektronik yang sekarang ini maju seperti jejaring sosial misal facebook dan twiter juga email account. Meskipun hanya melalui jejaring sosial, terkadang bisa timbul kekisruhan, percecokan dan saling lempar hujatan menjadi hal yang biasa. Seolah-olah di dalam dunia maya etika, toleransi dan prinsip hidup toleransi menjadi hal yang asing dan tidak berlaku.

 

Hal-hal tersebut diatas diperparah dengan adanya isu SARA yang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk men-teror dan mengambil keuntungan dalam kekisruhan yang terjadi di masyarakat. Hal ini sangat berbahaya dan mengancam terbentuknya kebhinekaan yang telah terjalin bertahun-tahun lamanya bersemayam di tanah air kita tercinta Indonesia. Maka, hendaknyalah masyarakat mau kembali kepada ideologi pancasila dan kembali mengenal trilogi kerukunan antar umat beragama. Inilah yang mampu menjadi solusi untuk meredam konflik yang tengah terjadi dalam kehidupan berbangsa sekarang ini.

Dalam setiap jenjang pendidikan, selalu dikenalkan adanya trilogi kerukunan umat beragama yang harus dijunjung oleh masing-masing warga negara Indonesia guna terbentuknya kerukunan, kedamaian, dan terciptanya stabilitas nasional. Trilogi kerukunan umat beragama itu antara lain adalah:

1. Kerukunan intern umat beragama.

2. Kerukunan antar umat beragama.

3. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.

 

Hal-hal tersebut diataslah yang menjadi nilai-nilai yang bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang madani, aman dan sejahtera.

Kerukunan intern umat beragama berarti adanya kesepahaman dan kesatuan untuk melakukan amalan dan ajaran agama yang dipeluk dengan menghormati adanya perbedaan yang masih bisa ditolerir. Misal dalam islam ada NU, Muhammadiyah, dsb. Dalam protestan ada GBI, Pantekosta dsb. Dalam katolik ada Roma dan ortodoks. Hendaknya dalam intern masing-masing agama tercipta suatu kerukunan dan kebersatuan dalam masing-masing agama.

 

Kemudian, kerukunan antar umat beragama adalah menciptakan persatuan antar agama agar tidak terjadi saling merendahkan dan menganggap agama yang dianutnya paling baik. Ini perlu dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang membahayakan keamanan, dan ketertiban umum. Bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah dengan adanya dialog antar umat beragama yang didalamnya bukan membahas perbedaan, akan tetapi memperbincangkan kerukunan, dan perdamaian hidup dalam bermasyarakat. Intinya adalah bahwa masing-masing agama mengajarkan untuk hidup dalam kedamaian dan ketentraman.

 

Terakhir adalah kerukunan umat beragama dengan pemerintah, maksudnya adalah dalam hidup beragama, masyarakat tidak lepas dari adanya aturan pemerintah setempat yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak boleh hanya mentaati aturan dalam agamanya masing-masing, akan tetapi juga harus mentaati hukum yang berlaku di negara Indonesia. Bahwasanya Indonesia itu bukan negara agama tetapi adalah negara bagi orang yang beragama.

 

Tentunya, hal-hal diatas juga bisa diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya terdapat beraneka macam suku, agama, ras dan budaya yang berbeda satu sama lainnya.

 

Dalam rangka menciptakan keberhasilan pembangunan di bidang agama khususnya dalam hal pembinaan kerukunan hidup beragama yang dinamis, maka semua pihak baik pemerintah maupun umat beragama berkewajiban dan sangat berkepentingan untuk senantiasa berusaha membina dan memelihara bagi terciptanya suasana dan kehidupan beragama yang penuh kerukunan.

 

Pembinaan dan pemeliharaan kerukunan tersebut antara lain; dengan cara menghindarkan serta menghilangkan permasalahan yang muncul dilingkungan umat beragama dan masyarakat pada umumnya. Sehingga umat beragamapun dapat terhindar dari permasalahan yang akan merugikan bagi terciptanya stabilitas serta kelancaran jalannya pembangunan.

 

Oleh karena itu, semua pihak baik umat beragama, pemerintah atau instansi terkait maupun pihak lainnya sangat berperan aktif dan sangat mempengaruhi demi terwujudnya nilai-nilai yang berujung pada kehidupan yang rukun dan damai  antar umat beragama. Dengan tidak menimbulkan konflik atau permasalahan yang ada, menghindari konflik yang muncul serta mencari solusi terhadap permasalahan yang ada. Dengan demikian umat beragama dapat benar-benar merasakan ketentraman dan kerukunan dalam kehidupan diantara umat beragama.

 

Jadi, kerukunan hidup umat beragama yang diharapkan adalah kerukunan antar para pemeluk agama dalam semangat saling mengerti, memahami antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain secara bahasa mengerti artinya memahami, tahu tentang sesuatu hal, dapat diartikan mengerti keadaan orang lain, tahu serta paham mengenai masalah-masalah sosial kemasyarakatan, sehingga dapat merasakan apa yang orang lain rasakan.

 

Dengan semangat saling mengerti, memahami, dan tenggang rasa- maka akan menumbuhkan sikap dan rasa berempati kepada siapa pun yang sedang mengalami kesulitan dan dapat memahami bila berada di posisi orang lain. Sehingga akan terwujud dan terpelihara kerukunan antar umat beragama.

 

2.      Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

 

Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama, semua warga negara RI.

 

Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia.

 

Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama". 

 

Pada tahun 1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog tersebut adalah suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran bersama dan menjalin hubungan pribadi yang akrab dalam menghadapi masalah masyarakat.

           

Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa.

 

 

2.2. Landasan Hukum

 

1. Landasan Idiil, yaitu Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa).

 

2. Landasan Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Dan Pasal 29 ayat 2: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

 

3.      Landasan Strategis, yaitu Ketatapan MPR No.IV tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam GBHN dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000, dinyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual., moral dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.

 

4. Landasan Operasional

a. UU No. 1/PNPS/l 965 tentang larangan dan pencegahan penodaan dan penghinaan agama

b. Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI. No.01/Ber/Mdn/1969 tentang pelaksanaan aparat pemerintah yang menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan dan pengembangan ibadah pemeluk agama oleh pemeluknya.

c. SK. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI. No.01/1979 tentang tata cara pelaksanaan pensyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan swasta di Indonesia.

d. Surat edaran Menteri Agama RI. No.MA/432.1981 tentang penyelenggaraan peringatan

hari besar keagamaan .

 

2.3. Upaya mewujudkan kerukunan beragama

Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pemerintah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman, keamanan,  dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama bahkan menertibkan rumah ibadah.

 

Dalam hal ini untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama

2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.

3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya

4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.

 

Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Seperti dalam pembahasan sebelumnya upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.

 

Kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, apabila masing-masing umat beragama dapat mematuhi aturan-aturan yang diajarkan oleh agamanya masing-masing serta mematuhi peraturan yang telah disahkan Negara atau sebuah instansi pemerintahan. Umat beragama tidak diperkenankan untuk membuat aturan-aturan pribadi atau kelompok, yang berakibat pada timbulnya konflik atau perpecahan diantara umat beragama yang diakibatkan karena adanya kepentingan ataupun misi secara pribadi dan golongan.

 

Selain itu, agar kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan secara mantap dalam bentuk. :

1.      Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.

2.      Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional, dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.

3.      Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama, yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern umat beragama dan antar umat beragama.

4.      Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia, yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.

5.      Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nila-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.

6.      Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.

7.      Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.

 

Dalam upaya memantapkan kerukunan itu, hal serius yang harus diperhatikan adalah fungsi pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini pemuka agama, tokoh masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat mereka akan dipercayai dan diikuti secara taat. Selain itu mereka sangat berperan dalam membina umat beragama dengan pengetahuan dan wawasannya dalam pengetahuan agama.

 

Kemudian pemerintah juga berperan dan bertanggung jawab demi terwujud dan terbinanya kerukunan hidup umat beragama. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas umat beragama di Indonesia belum berfungsi seperti seharusnya, yang diajarkan oleh agama masing-masing. Sehingga ada kemungkinan timbul konflik di antara umat beragama. Oleh karena itu dalam hal ini, ”pemerintah sebagai pelayan, mediator atau fasilitator merupakan salah satu elemen yang dapat menentukan kualitas atau persoalan umat beragama tersebut. Pada prinsipnya, umat beragama perlu dibina melalui pelayanan aparat pemerintah yang memiliki peran dan fungsi strategis dalam menentukan kualitas kehidupan umat beragama, melalui kebijakannya.  

 

Untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dan keutuhan bangsa, perlu dilakukan upaya-upaya:

1.      Meningkatkan efektifitas fungsi lembaga-lembaga kearifan lokal dan keagamaan masyarakat;

2.      Meningkatkan wawasan keagamaan masyarakat;

3.      Menggalakkan kerjasama sosial kemanusiaan lintas agama, budaya, etnis dan profesi

4.      Memperkaya wawasan dan pengalaman tentang kerukunan melalui program kurikuler di lingkungan lembaga pendidikan.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1. Kesimpulan

Kerukunan hidup umat beragama yang diharapkan adalah kerukunan antar para pemeluk agama dalam semangat saling mengerti, memahami antara satu dengan yang lainnya.

 

Dengan kata lain secara bahasa mengerti artinya memahami, tahu tentang sesuatu hal, dapat diartikan mengerti keadaan orang lain, tahu serta paham mengenai masalah-masalah sosial kemasyarakatan, sehingga dapat merasakan apa yang orang lain rasakan.

 

3.2. Saran

Dengan semangat saling mengerti, memahami, dan tenggang rasa- maka akan menumbuhkan sikap dan rasa berempati kepada siapa pun yang sedang mengalami kesulitan dan dapat memahami bila berada di posisi orang lain. Sehingga akan terwujud dan terpelihara kerukunan antar umat beragama.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSAKA

 

Sairin, Weinata. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa. PT.BPK Gunung Mulia

Zuhdi, Muslimin. Berbagai Upaya Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama. http://musliminzuhdi.blogspot.com. 2012.

www.kesbanglinmas.jogjaprov.go.id/ .2012

alfiah. Kerukunan umat beragama di Indonesia. http://alfiah-18.blogspot.com. 2011.

Pendidikan Agama Islam ( Kerukunan Umat Beragama ) http://ocw.gunadarma.ac.id/course/computer-science-and-information/information-system-s1-1/pendidikan-agama-islam/kerukunan-umat-beragama Penerbit : Universitas Gunadarma

Cuplikan makalah dari: Galih Prakoso fakultas Industrial Engineering, President University 2011 http://sosbud.kompasiana.com

http://books.google.co.id .2012

http://balitbangdiklat.kemenag.go.id .2012