BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
kesadaran sejarah itu penting tergantung pada cara pandang
kita tentang manfaat dan mudharatnya. Manfaat mudharat ini juga sangat tergantung pada batas-batas pemahaman
tentang makna sejarah. Sebagaimana akar katanya, sejarah (dari bahasa Arab) syajarah yang berarti pohon, pemaknaan
majas identifikatif yang menggambarkan pohon keluarga berpangkal, bercabang dan
beranting. Dalam bahasa arab untuk menunjuk pada istilah yang mirip dengan sejarah
dalam bahasa Indonesia dikenal kata tarikh.
Pengertian tarikh menunjuk pada makna penentuan tanggal / titi mangsa suatu
peristiwa besar dalam zharaf atau
ruang dan waktu yang jelas. Istilah lain yang sejenis adalah history (Inggris),
historia, histor, istor (Yunani) yang berarti penelitian / orang pintar.
Bangsa Arab
memiliki paling tidak ada alasan
mengapa syajarah famili ini penting, pertama pertimbangan kehormatan keluarga,
seseorang dihormati karena garis keturunannya. Kedua untuk menghindari perkawinan
keluarga yang terlalu dekat yang sangat diyakini oleh bangsa arab akan
menurunkan kualitas ketahanan fisik maupun mental dalam menghadapi tantangan
alam yang demikian keras. Tarikh yang merujuk pada pencatatan peristiwa yang
berkaitan dengan peristiwa besar dalam konteks ruang, waktu dan orang pada
zamannya. Historia merujuk pada pemaknaan atau manfaat internal dan eksternal
dari historiografi.
1.2.Rumusan
Masalah
1.
Apa saja Sejarah itu ?
2.
Bagai Mana kesadaran sejarah
bertaut erat dengan peristiwa sejarah, fakta sejarah Itu Sendiri ?
1.3.Pembatasan Masalah
Karena
cangkupan Kesadaran sedaran sejarah, maka kami hanya membataskan penelitian
hanya dari segi meningkatkan kesadaran pada sejarah. Serta perkembangnnya
sampai dengan sekarag ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Memahami kesadaran sejarah
Memahami kesadaran sejarah
niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara
terbalik bisa dilukiskan begini; kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat
hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang
telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan. Kesadaran tentang
sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.
Sejarah dalam kerangka kilmuan
(ilmu sejarah) memiliki watak tridimensional, yaitu kesinambungan antara hari
kemarin, hari sekarang, dan hari depan. Tidak dapat di sangkal bahwa tekanan
penyelidikan sejarah adalah “the past” atau hari kemarin. Akan tetapi, ini
bukan berarti menafikan pentingnya mempertautkan hari kemarin dengan hari
sekarang dan hari depan. Ketiga komponen waktu tersebut bertaut erat, tidak
terpisah dan tidak bisa di pisahkan antara satu dengan yang lain.
Masa lampau adalah bijakan bagi
kehadiran masa kini dan masa kini adalah kerangka pematangan menuju masa depan.
Serta masa depan adalah sesuatu yang belum, namun pasti akan terwujud. Atas
dasar pemikiran ini, sejarah dapat dipahami sebagai masa lampau yang belum
berakhir, belum selesai. Sepintas tampaknya pemikiran ini lebih menekankan pada
dimensi kelampauan. Akan tetapi, secara implisit yang lebih menyemangati kontinuitas
tridimensional waktu, dengan perhatian yang besar pada masa depan. Oleh sebab
itu, pemahaman sejarah, pendidikan sejarah yang hanya menitikberatkan pada
statistik peristiwa masa lampau, sebenarnya hanya akan memasung kedewasaan
kesadaran tentang sejarah.
Ini perlu di garis bawahai lebih
awal, sebab dalam beberapa hal pengertian tentang kesadaran sejarah bertaut
erat dengan peristiwa sejarah, fakta sejarah. Hal ini tampak pula dari
pandangan Ismail yang berpendapat bahwa, “Kesadaran sejarah memang harus di
mulai dengan mengetahui fakta-fakta sejarah. Malahan adakalanya harus pula
pandai menghafalkan kronologi tahun-tahun kejadian dalam sejarah itu, Plus
pengetahuan dengan sebab musababnya antara fakta-fakta itu”.
Dalam batas-batas tertentu,
pembinaan kesadaran sejarah yang mula-mula harus bertumpu pada pengetahuan
tentang fakta sejarah, mengandung kebenaran yang dapat di pertanggungjawabkan.
Akan tetapi, fakta sejarah belum cukup, dan ini diakui pula oleh Ismail.
Apabila fakta sejarah menjadi
barometer utama membina kesadaran sejarah, secara tegas saya mengajak kita
sekalian untuk meragukan intensitas kesadaran sejarah yang telah kita semaikan
selama ini di dalam sanubari masing masing sebab hanya bila fakta sejarah yang
menjadi ukuran dalam kesadaran sejarah, niscaya banyak di antara kita yang di
katagorikan tidak atau kurang memiliki kesadaran sejarah.
Argumentasi sederhana, fakta
sejarah berhubungan dengan pristiwa serjarah. Nah, berapa besar pengetahuan
kita tentang pristiwa sejarah daerah. Umpamanya : seberapa besar masyarakat
pada suatu daerah mengetahui fakta atau peristiwa sejarah yang ada di
daerahnya.
Jadi. Kalau fakta sejarah
merupakan pintu masuk paling awal untuk memupuk kesadaran sejarah suatu
masyarakat, dan berdasarkan kenyataan yang hampir dapat dipastikan berlaku
untuk umum tentang keringnya pengetahuan fakta sejarah yang dimiliki oleh
masyarakat, sudah dapat diprediksikan masyarakat yang senantiasa berada diluar
kamar kesadaran sejarah.
Tentunya, fakta sejarah dan
seperti sudah disinggung diatas bukan merupakan unsur satu – satunya dalam
membina kesadaran sejarah. Yang terpenting mengapresiasi secara cerdas
kausalitas peristiwa dalam konteks kekinian untuk tujuan yang lebih kedepan,
maka hakikatnya kita telah berupaya memaksimalkan kesadaran sejarah.
Tetapi,bagaimanapun juga pristiwa sejarah tetap harus menjadi elemen yang perlu
di perhatikan dalam pembinaan kesadaran sejarah khususnya di daerah mengingat
masihsangat banyak pristiwa sejarah didaerah yang belum tergali secara optimal
terlebih lagi belum banyak ditekuni oleh masyarakat, bahkan ada kesan bahwa
terjadi semacam gerakan untuk menjauh dari ingatan masa lampau.
Apa yang didiskusikan di atas
pada hakikatnya memercikan sebuah keyakinan mendasar bahwa kesadaran sejarah
tidak semata-mata terkontak dalam pengetahuan tentang fakta sejarah melainkan
lebih dari fakta sejarah.Lebih dari fakta sejarah berarti selain fakta sejarah,
kesadaran mencerminkan pula; pertama kausalitas fakta, kedua munculnya logika
dari kausalitas itu dan ketiga, adanya sikap kearifan yang tinggi.
Dengan demikian kesadaran
sejarah tidak lain sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap
berada dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, kita
seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini.
Inilah esensi dari ungkapan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam
menghadapi segenap peristiwa sejarah, yang terpenting bukanlah “bagaimana
belajar sejarah, melainkan bagaimana belajar dari sejarah”. Prinsip pertama
akan membawa kita pada setumpuk data tentang peristiwa masa lampau, sedangkan
prinsip kedua akan mengisi jiwa kita dengan sikap yang lebih arif dan
bijaksana, sebagaimana inti dari kesadaran sejarah.
Sejauh ini telah dibahas
dan dipahami serba sedikit tentang kesadaran sejarah,meskipun tampaknya
pemahaman di atas terkesan agak filsofis. Kesadaran sejarah perlu dibina
khususnya di kalangan generasi muda. Pendeknya dibutuhkan untuk membuat
masyarakat lebih arif dan bijaksana dalam melakoni masa yang belum pasti,
paling tidak kesadaran sejarah akan mengantarkan kita untuk tidak akan berbuat
salah untuk kesalahan yang sama dimasa yang akan datang.
2.2. Memaknai Sejarah.
Pilihan makna
sejarah yang dianut dalam sistem bernegara dan bermasyarakat akan menentukan
orientasi (penulisan dan pemanfaatan) sejarah suatu masyarakat. Secara lebih
mendalam pilihan orientasi ini akan berpengaruh terhadap mentalitas suatu
kelompok masyarakat. Jika sejarah dimaknai sebagai penggambaran kehidupan
kolektif masa lalu, maka pengalaman kolektif itulah yang selanjutnya dijadikan
acuan dalam menentukan identitasnya. Pengalaman kolektif itu disosialisasikan
dan ditransformasi dari generasi ke generasi dan membangun kebanggaan kolektif
disamping asal usul atau trah. Dengan pandangan ini maka untuk melacak dan
merekonstruksi bangunan budaya suatu masyarakat harus dilacak dengan sejarah
dini bahkan sampai ke mitologinya.
Dalam
perkembangan peradaban, keseluruhan informasi tentang masa lalu suatu
masyarakat sangat penting dalam merancang bangun arah pengembangan sosial dalam
peradaban yang dijalaninya serta pencitraan komunitasnya. Namun satu hal yang
harus dicatat dalam pemanfaatan informasi masa lalu adalah masih bercampur
aduknya informasi faktual dengan mitos, legenda, saga dan berbagai bentuk
folklor lain yang sangat bervariasi antar lokus. Dalam studi sejarah peradaban
kedua aspek tersebut memiliki peran tersendiri memaknai sejarah dalam sebuah
komunitas budaya. Keragaman informasi masa lalu kemudian menjadi bahan baku
dalam histiografi yang melahirkan berbagai cabang sejarah secara substansial :
sejarah politik, sejarah sosial, sejarah mentalitas, sejarah agraris, sejarah
kebudayaan dan lain-lain.
Sejarah menjadi
bermakna atau tidak sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk merumuskan
makna itu. Secara intrinsik, sejarah merupakan salah satu metode untuk
mengetahui masa lalu, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai pernyataan pendapat
dan sejarah sebagai profesi. Secara ekstrensik sejarah dapat berfungsi sebagai
pendidikan moral, politik, penalaran, keindahan, perubahan, dan pendidikan masa
depan. Disamping itu sejarah juga berfungsi sebagai latar belakang atau
pendahulu historis suatu keadaan atau peristiwa, sebagai alat pembuktian dan
sebagai rujukan.
Demikian banyak
fungsi, makna dan manfaat sejarah dalam membangun peradaban dan sekaligus menata
sistem ketahanan budaya manusia baik secara individu maupun secara sosial,
tetapi sangat sedikit orang yang peduli dan memanfaatkan. Hal ini mungkin
disebabkan karena penggunaan metode sejarah dalam ilmu-ilmu sosial maupun
rancang bangun sosial harus menggunakan metode longitudinal yang cenderung
kurang menarik dalam peradaban instan dan pragmatis saat ini. Memaknai sejarah
dalam kehidupan akan membantu seseorang atau suatu komunitas untuk mengenal
sejarah mentalitasnya, sejarah sosial, sejarah budaya dan sekaligus akan dapat
dijadikan pertimbangan dalam rancang bangun peradabannya ke masa depan.
2.3. Kesadaran Sejarah
Jika kita
memandang folklor dan mitologi sebagai dongeng atau sebagai alat gegoyonan yang
menghibur, berarti kesadaran sejarah kita sangat rendah. Demikian pula jika
kita menganggap peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan suatu tempat,
suatu masa dan seseorang yang berujung pada kepercayaan mistis dan kultus, juga
merupakan indikator kesadaran sejarah yang rendah. Pola kepercayaan mitis dan
pandangan kultus merupakan bentuk pemaknaan sejarah secara tradisional dan
tentu saja akan mengungkung masyarakat dalam stagnasi peradaban dalam arus
deras modernitas. Munculnya pola kepercayaan dan cara pandang mitis dan kultus
disebabkan karena kurangnya informasi dan referensi yang berkaitan dengan
aspek-aspek historiografis seperti ruang, waktu, proses interaksi, konteks,
tokoh dan lain-lain.
Kesadaran
sejarah juga tidak diwakili dengan penguasaan tentang informasi-informasi masa
lalu, atau penguasaan tentang peran tokoh-tokoh dalam peristiwa itu, tetapi
kesadaran sejarah adalah kesadaran tentang proses dinamis masyarakat dalam
dialektika ruang dan waktu yang terus berubah. Kesadaran sejarah yang demikian
melahirkan pandangan kritis terhadap penisbian terhadap suatu kejadian dan
tokoh masa lalu, dan membuka ruang diskusi untuk mempermasalahkan, melengkapi,
meluruskan bahkan menolaknya sebagai suatu peristiwa sejarah.
Hanya dengan
pandangan yang demikian sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi
masyarakat. Kemampuan melihat hubungan dinamis antara kejadian-kejadian atau
tokoh-tokoh masa lalu dalam dimensi ruang dan waktu (dengan metodologi
tertentu) akan melahirkan suatu kerangka acuan yang absah untuk mencari solusi
terhadap permasalahan-permasalahan aktual saat ini dan menghadapi masa depan.
Para sejarawan mengasumsikan adanya hukum sejarah yang tetap dan tidak berubah
jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain, historiografi
mengisyaratkan adanya gejala generalisasi dalam penarikan pelajaran. Tentu saja
kondisi ini juga membutuhkan kritik materi dan kritik konteks yang lebih
mendasar.
Menarik
pelajaran dan hikmah dari kesadaran sejarah kalau merujuk pada konsep tarikh,
yaitu suatu peristiwa yang terikat oleh zharaf (ruang dan waktu) menjadi
sesuatu yang mengandung kenisbian yang bersifat idiomatik. Dengan demikian
semakin jelas kita membedakan seorang nara sumber sejarah yang memahami
seluk-beluk peristiwa sejarah dengan seorang yang memiliki kesadaran sejarah.
Kesadaran sejarah inilah yang menjadikan sejarah bermakna bagi masyarakat.
Sejarah menjadi tidak tertelan zaman dan melahirkan mitos-kitis dan
pengkultusan.
2.4. Mendidik
Kesadaran Sejarah
Jika kita
dihadapkan pada pertanyaan sederhana ”siapakah dirimu”, maka kita tidak bisa
menjawab secara serta merta seperti jika ditanya di mana rumahmu. Pertanyaan
itu bisa menjadi multi interpretasi dan membutuhkan penjelasan yang sangat
panjang tentang masa lalu yang berkaitan dengan banyak aspek. Jawaban terhadap
pertanyaan itu bisa memiliki konteks individu, keluarga, budaya dan bangsa yang
masing masing memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Ketika kita mulai mengabaikan masa lalu pada saat
itu kita akan mulai kehilangan jejak yang akan digunakan untuk merekonstruksi
”jati diri” kita.
Mendidik
kesadaran sejarah tidak saja berkaitan dengan upaya mentransfer informasi
tentang masa lalu keluarga atau trah, masa lalu sebuah budaya atau perjalanan
kebangsaan, tetapi lebih pada bagaimana seseorang memposisikan diri dalam mata
rantai generasi dalam proses budaya. Posisi yang dimaksud dalam hal ini adalah
peran dan fungsi seseorang atau suatu komunitas dalam proses sejarah menuju
budaya yang bermartabat dengan segala aspeknya. Dalam konteks ini seseorang
atau suatu generasi membutuhkan informasi tentang masa lalu yang jujur,
transparan, dan disampaikan dengan kearifan.
Sejarah
Nasional yang saat ini mulai berani diperdebatkan, harus diterima sebagai suatu
kenyataan yang diakui kebenarannya pada zamannya, dan bermanfaat untuk
mendukung suatu kepentingan pada zamannya. Sikap kritis terhadap penulisan
sejarah saat ini disebabkan karena semakin banyaknya informasi pendukung yang
dapat dijadikan bahan diskusi dan kritik intrinsik sejarah. Permasalahannya
adalah siapa yang akan berfungsi arbitrase dalam kritalisasi sejarah menjadi
sejarah yang jernih sebagai tempat bercermin.
Perekayasaan
dan manipulasi alur sejarah akan melahirkan generasi dan kebudayaan yang
ahistoris dan pada saatnya akan tersesat karena tidak mampu lagi menemukan
salah satu mata rantai ke akar yang menghidupinya. Kondisi seperti ini tidak
saja terjadi pada penulisan sejarah nasional, tetapi juga pada sejarah lokal.
Dalam proses penyadaran sejarah, proses kesejarahan disajikan secara lengkap,
dengan sistem periodisasi yang mempertimbangkan berbagai aspek secara
komprehensif.
Dengan pola
pemikiran historiografis tersebut, maka pendidikan kesadaran sejarah merupakan
proses transformasi kesejarahan yang diaktualisasikan dalam proses pemikiran
kritis yang konstruktif. Dalam aktualisasinya, ada beberapa pertimbangan
strategis yang perlu mendapat perhatian antara lain :
1. Tidak menempatkan sejarah sebagai nostalgia atau
romantisme masa lalu atau pelarian dari tekanan realisme yang penuh masalah.
2. Memahami sejarah sebagai kerangka perjalanan
kausalitas antara masa lalu masa kini dan masa depan.
3. Sejarah harus dipandang sebagai realitas yang terus
menerus bergerak dan tidak berujung pada harapan-harapan yang a historis,
seperti ratu adil dan sejenisnya.
4. Sejarah harus disajikan sebagai materi penyadaran
dengan obyektif dan tanpa ada kepentingan selain untuk keberlangsungan proses
sejarah secara normal.
5. Informasi sejarah harus rasional, memenuhi standar
historiografi yang membebaskan subyeknya dari mitos dan kultus. Dengan kata
lain, peninggalan dan bukti sejarah yang disajikan harus memenuhi persyaratan
kritik intrinsik maupun ekstrinsik.
Dalam rangka
transformasi kesejarahan dan membangun kesadaran sejarah, maka pendidikan
sejarah harus dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan media.
Untuk itu memang harus melakukan perekayasaan sistem secara komprehensif karena
ruang lingkup sejarah yang sangat luas dan kompleks. Pendidikan kesadaran
sejarah tidak bisa terlepas dari sistem dokumentasi yang kuat dan kemampuan
menggunakan dokumen dan bukti-bukti sejarah (ideofact, sociofact, artefact,
dll) dengan cermat. Mungkin disinilah letak kelamahan kita, karena kita tidak
memiliki sumberdaya manusia yang relevan seperti sejarawan, arkeolog, filolog,
dan sejenisnya.
Kondisi
pendidikan kesadaran sejarah saat ini yang paling mungkin dilakukan melalui
institusi pendidikan, wisata sejarah, museum dan kearsipan. Untuk itu perlu
dilakukan beberapa pembenahan penting seperti :
1. Penulisan Sejarah Lokal dengan obyektif dan
menggunakan metodologi serta pendekatan historiografi,
2. Perekayasaan kurikulum sejarah yang mengutamakan
kesadaran sejarah, bukan pada transfer informasi kesejarahan.
3. Penataan dan pemeliharaan warisan budaya (situs dan
benda cagar budaya) sebagai bukti sejarah dengan deskripsi yang rasional dan
faktual.
4. Peningkatan sumberdaya manusia tenaga kearsipan
baik dalam bidang profesionalitas dan penguasaan substansi dan metode
kesejarahan.
5. Pembinaan guru sejarah, sumberdaya manusia yang
bekerja pada bidang kesejarahan serta masyarakat sejarawan sebagai mitra dan
jejaring kerja dalam pembinaan kesadaran sejarah masyarakat.
Pada akhirnya,
kesadaran sejarah sangat dibutuhkan dalam rangka membangun bangsa yang maju,
memiliki jati diri yang bermartabat. Dengan kesadaran sejarah ini masyarakat
dapat mencatat akumulasi pengalaman sejarahnya masing-masing untuk membangun
kebudayaan dan peradaban. Uupaya ini dalam kondisi masyarakat Indonesia dan NTB
pada khususnya masih sangat memerlukan dukungan dari kebijakan pemerintah
sebagai patron.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
kesadaran sejarah itu penting tergantung pada cara pandang kita tentang manfaat dan mudharatnya. Manfaat mudharat ini juga sangat
tergantung pada batas-batas pemahaman tentang makna sejarah. Sebagaimana akar
katanya, sejarah (dari bahasa Arab) syajarah
yang berarti pohon, pemaknaan majas identifikatif yang menggambarkan pohon
keluarga berpangkal, bercabang dan beranting. Dalam bahasa arab untuk menunjuk
pada istilah yang mirip dengan sejarah dalam bahasa Indonesia dikenal kata tarikh.
Memahami kesadaran sejarah
niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara
terbalik bisa dilukiskan begini; kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat
hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang
telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan. Kesadaran tentang
sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.
3.2. Saran
Dalam penulisan
makalah ini penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga
mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun agar penulis mendapatkan membelajaran baru. Dan semoga makalah ini
dapat menjadi tempat mendapatkan ilmu pengetahuan baru.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar