Senin, 04 Februari 2013

Meningkatkan Kesadaran Pada Sejarah

 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
kesadaran sejarah itu penting tergantung pada cara pandang kita tentang manfaat dan mudharatnya. Manfaat mudharat ini juga sangat tergantung pada batas-batas pemahaman tentang makna sejarah. Sebagaimana akar katanya, sejarah (dari bahasa Arab) syajarah yang berarti pohon, pemaknaan majas identifikatif yang menggambarkan pohon keluarga berpangkal, bercabang dan beranting. Dalam bahasa arab untuk menunjuk pada istilah yang mirip dengan sejarah dalam bahasa Indonesia dikenal kata tarikh. Pengertian tarikh menunjuk pada makna penentuan tanggal / titi mangsa suatu peristiwa besar dalam zharaf atau ruang dan waktu yang jelas. Istilah lain yang sejenis adalah history (Inggris), historia, histor, istor (Yunani) yang berarti penelitian / orang pintar.

Bangsa Arab memiliki paling tidak ada  alasan mengapa syajarah famili ini penting, pertama pertimbangan kehormatan keluarga, seseorang dihormati karena garis keturunannya. Kedua untuk menghindari perkawinan keluarga yang terlalu dekat yang sangat diyakini oleh bangsa arab akan menurunkan kualitas ketahanan fisik maupun mental dalam menghadapi tantangan alam yang demikian keras. Tarikh yang merujuk pada pencatatan peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa besar dalam konteks ruang, waktu dan orang pada zamannya. Historia merujuk pada pemaknaan atau manfaat internal dan eksternal dari historiografi.

1.2.Rumusan Masalah
1.            Apa saja Sejarah itu ?
2.            Bagai Mana kesadaran sejarah bertaut erat dengan peristiwa sejarah, fakta sejarah Itu Sendiri ?

1.3.Pembatasan Masalah

Karena cangkupan Kesadaran sedaran sejarah, maka kami hanya membataskan penelitian hanya dari segi meningkatkan kesadaran pada sejarah. Serta perkembangnnya sampai dengan sekarag ini.



 


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Memahami kesadaran sejarah
Memahami kesadaran sejarah niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara terbalik bisa dilukiskan begini; kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan. Kesadaran tentang sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.
Sejarah dalam kerangka kilmuan (ilmu sejarah) memiliki watak tridimensional, yaitu kesinambungan antara hari kemarin, hari sekarang, dan hari depan. Tidak dapat di sangkal bahwa tekanan penyelidikan sejarah adalah “the past” atau hari kemarin. Akan tetapi, ini bukan berarti menafikan pentingnya mempertautkan hari kemarin dengan hari sekarang dan hari depan. Ketiga komponen waktu tersebut bertaut erat, tidak terpisah dan tidak bisa di pisahkan antara satu dengan yang lain.
Masa lampau adalah bijakan bagi kehadiran masa kini dan masa kini adalah kerangka pematangan menuju masa depan. Serta masa depan adalah sesuatu yang belum, namun pasti akan terwujud. Atas dasar pemikiran ini, sejarah dapat dipahami sebagai masa lampau yang belum berakhir, belum selesai. Sepintas tampaknya pemikiran ini lebih menekankan pada dimensi kelampauan. Akan tetapi, secara implisit yang lebih menyemangati kontinuitas tridimensional waktu, dengan perhatian yang besar pada masa depan. Oleh sebab itu, pemahaman sejarah, pendidikan sejarah yang hanya menitikberatkan pada statistik peristiwa masa lampau, sebenarnya hanya akan memasung kedewasaan kesadaran tentang sejarah.
Ini perlu di garis bawahai lebih awal, sebab dalam beberapa hal pengertian tentang kesadaran sejarah bertaut erat dengan peristiwa sejarah, fakta sejarah. Hal ini tampak pula dari pandangan Ismail yang berpendapat bahwa, “Kesadaran sejarah memang harus di mulai dengan mengetahui fakta-fakta sejarah. Malahan adakalanya harus pula pandai menghafalkan kronologi tahun-tahun kejadian dalam sejarah itu, Plus pengetahuan dengan sebab musababnya antara fakta-fakta itu”.
Dalam batas-batas tertentu, pembinaan kesadaran sejarah yang mula-mula harus bertumpu pada pengetahuan tentang fakta sejarah, mengandung kebenaran yang dapat di pertanggungjawabkan. Akan tetapi, fakta sejarah belum cukup, dan ini diakui pula oleh Ismail.
Apabila fakta sejarah menjadi barometer utama membina kesadaran sejarah, secara tegas saya mengajak kita sekalian untuk meragukan intensitas kesadaran sejarah yang telah kita semaikan selama ini di dalam sanubari masing masing sebab hanya bila fakta sejarah yang menjadi ukuran dalam kesadaran sejarah, niscaya banyak di antara kita yang di katagorikan tidak atau kurang memiliki kesadaran sejarah.
Argumentasi sederhana, fakta sejarah berhubungan dengan pristiwa serjarah. Nah, berapa besar pengetahuan kita tentang pristiwa sejarah daerah. Umpamanya : seberapa besar masyarakat pada suatu daerah mengetahui fakta atau peristiwa sejarah yang ada di daerahnya.
Jadi. Kalau fakta sejarah merupakan pintu masuk paling awal untuk memupuk kesadaran sejarah suatu masyarakat, dan berdasarkan kenyataan yang hampir dapat dipastikan berlaku untuk umum tentang keringnya pengetahuan fakta sejarah yang dimiliki oleh masyarakat, sudah dapat diprediksikan masyarakat yang senantiasa berada diluar kamar kesadaran sejarah.
Tentunya, fakta sejarah dan seperti sudah disinggung diatas bukan merupakan unsur satu – satunya dalam membina kesadaran sejarah. Yang terpenting mengapresiasi secara cerdas kausalitas peristiwa dalam konteks kekinian untuk tujuan yang lebih kedepan, maka hakikatnya kita telah berupaya memaksimalkan kesadaran sejarah. Tetapi,bagaimanapun juga pristiwa sejarah tetap harus menjadi elemen yang perlu di perhatikan dalam pembinaan kesadaran sejarah khususnya di daerah mengingat masihsangat banyak pristiwa sejarah didaerah yang belum tergali secara optimal terlebih lagi belum banyak ditekuni oleh masyarakat, bahkan ada kesan bahwa terjadi semacam gerakan untuk menjauh dari ingatan masa lampau.
Apa yang didiskusikan di atas pada hakikatnya memercikan sebuah keyakinan mendasar bahwa kesadaran sejarah tidak semata-mata terkontak dalam pengetahuan tentang fakta sejarah melainkan lebih dari fakta sejarah.Lebih dari fakta sejarah berarti selain fakta sejarah, kesadaran mencerminkan pula; pertama kausalitas fakta, kedua munculnya logika dari kausalitas itu dan ketiga, adanya sikap kearifan yang tinggi.
Dengan demikian kesadaran sejarah tidak lain sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap berada dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, kita seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini. Inilah esensi dari ungkapan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam menghadapi segenap peristiwa sejarah, yang terpenting bukanlah “bagaimana belajar sejarah, melainkan bagaimana belajar dari sejarah”. Prinsip pertama akan membawa kita pada setumpuk data tentang peristiwa masa lampau, sedangkan prinsip kedua akan mengisi jiwa kita dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana, sebagaimana inti dari kesadaran sejarah.
Sejauh ini telah dibahas  dan dipahami serba sedikit tentang kesadaran sejarah,meskipun tampaknya pemahaman di atas terkesan agak filsofis. Kesadaran sejarah perlu dibina khususnya di kalangan generasi muda. Pendeknya dibutuhkan untuk membuat masyarakat lebih arif dan bijaksana dalam melakoni masa  yang belum pasti, paling tidak kesadaran sejarah akan mengantarkan kita untuk tidak akan berbuat salah untuk kesalahan yang sama dimasa yang akan datang.


2.2. Memaknai Sejarah.
Pilihan makna sejarah yang dianut dalam sistem bernegara dan bermasyarakat akan menentukan orientasi (penulisan dan pemanfaatan) sejarah suatu masyarakat. Secara lebih mendalam pilihan orientasi ini akan berpengaruh terhadap mentalitas suatu kelompok masyarakat. Jika sejarah dimaknai sebagai penggambaran kehidupan kolektif masa lalu, maka pengalaman kolektif itulah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam menentukan identitasnya. Pengalaman kolektif itu disosialisasikan dan ditransformasi dari generasi ke generasi dan membangun kebanggaan kolektif disamping asal usul atau trah. Dengan pandangan ini maka untuk melacak dan merekonstruksi bangunan budaya suatu masyarakat harus dilacak dengan sejarah dini bahkan sampai ke mitologinya.

Dalam perkembangan peradaban, keseluruhan informasi tentang masa lalu suatu masyarakat sangat penting dalam merancang bangun arah pengembangan sosial dalam peradaban yang dijalaninya serta pencitraan komunitasnya. Namun satu hal yang harus dicatat dalam pemanfaatan informasi masa lalu adalah masih bercampur aduknya informasi faktual dengan mitos, legenda, saga dan berbagai bentuk folklor lain yang sangat bervariasi antar lokus. Dalam studi sejarah peradaban kedua aspek tersebut memiliki peran tersendiri memaknai sejarah dalam sebuah komunitas budaya. Keragaman informasi masa lalu kemudian menjadi bahan baku dalam histiografi yang melahirkan berbagai cabang sejarah secara substansial : sejarah politik, sejarah sosial, sejarah mentalitas, sejarah agraris, sejarah kebudayaan dan lain-lain.

Sejarah menjadi bermakna atau tidak sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk merumuskan makna itu. Secara intrinsik, sejarah merupakan salah satu metode untuk mengetahui masa lalu, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai pernyataan pendapat dan sejarah sebagai profesi. Secara ekstrensik sejarah dapat berfungsi sebagai pendidikan moral, politik, penalaran, keindahan, perubahan, dan pendidikan masa depan. Disamping itu sejarah juga berfungsi sebagai latar belakang atau pendahulu historis suatu keadaan atau peristiwa, sebagai alat pembuktian dan sebagai rujukan.

Demikian banyak fungsi, makna dan manfaat sejarah dalam membangun peradaban dan sekaligus menata sistem ketahanan budaya manusia baik secara individu maupun secara sosial, tetapi sangat sedikit orang yang peduli dan memanfaatkan. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan metode sejarah dalam ilmu-ilmu sosial maupun rancang bangun sosial harus menggunakan metode longitudinal yang cenderung kurang menarik dalam peradaban instan dan pragmatis saat ini. Memaknai sejarah dalam kehidupan akan membantu seseorang atau suatu komunitas untuk mengenal sejarah mentalitasnya, sejarah sosial, sejarah budaya dan sekaligus akan dapat dijadikan pertimbangan dalam rancang bangun peradabannya ke masa depan.

2.3. Kesadaran Sejarah
Jika kita memandang folklor dan mitologi sebagai dongeng atau sebagai alat gegoyonan yang menghibur, berarti kesadaran sejarah kita sangat rendah. Demikian pula jika kita menganggap peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan suatu tempat, suatu masa dan seseorang yang berujung pada kepercayaan mistis dan kultus, juga merupakan indikator kesadaran sejarah yang rendah. Pola kepercayaan mitis dan pandangan kultus merupakan bentuk pemaknaan sejarah secara tradisional dan tentu saja akan mengungkung masyarakat dalam stagnasi peradaban dalam arus deras modernitas. Munculnya pola kepercayaan dan cara pandang mitis dan kultus disebabkan karena kurangnya informasi dan referensi yang berkaitan dengan aspek-aspek historiografis seperti ruang, waktu, proses interaksi, konteks, tokoh dan lain-lain.

Kesadaran sejarah juga tidak diwakili dengan penguasaan tentang informasi-informasi masa lalu, atau penguasaan tentang peran tokoh-tokoh dalam peristiwa itu, tetapi kesadaran sejarah adalah kesadaran tentang proses dinamis masyarakat dalam dialektika ruang dan waktu yang terus berubah. Kesadaran sejarah yang demikian melahirkan pandangan kritis terhadap penisbian terhadap suatu kejadian dan tokoh masa lalu, dan membuka ruang diskusi untuk mempermasalahkan, melengkapi, meluruskan bahkan menolaknya sebagai suatu peristiwa sejarah.

Hanya dengan pandangan yang demikian sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi masyarakat. Kemampuan melihat hubungan dinamis antara kejadian-kejadian atau tokoh-tokoh masa lalu dalam dimensi ruang dan waktu (dengan metodologi tertentu) akan melahirkan suatu kerangka acuan yang absah untuk mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan aktual saat ini dan menghadapi masa depan. Para sejarawan mengasumsikan adanya hukum sejarah yang tetap dan tidak berubah jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain, historiografi mengisyaratkan adanya gejala generalisasi dalam penarikan pelajaran. Tentu saja kondisi ini juga membutuhkan kritik materi dan kritik konteks yang lebih mendasar.

Menarik pelajaran dan hikmah dari kesadaran sejarah kalau merujuk pada konsep tarikh, yaitu suatu peristiwa yang terikat oleh zharaf (ruang dan waktu) menjadi sesuatu yang mengandung kenisbian yang bersifat idiomatik. Dengan demikian semakin jelas kita membedakan seorang nara sumber sejarah yang memahami seluk-beluk peristiwa sejarah dengan seorang yang memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah inilah yang menjadikan sejarah bermakna bagi masyarakat. Sejarah menjadi tidak tertelan zaman dan melahirkan mitos-kitis dan pengkultusan.
2.4. Mendidik Kesadaran Sejarah
Jika kita dihadapkan pada pertanyaan sederhana ”siapakah dirimu”, maka kita tidak bisa menjawab secara serta merta seperti jika ditanya di mana rumahmu. Pertanyaan itu bisa menjadi multi interpretasi dan membutuhkan penjelasan yang sangat panjang tentang masa lalu yang berkaitan dengan banyak aspek. Jawaban terhadap pertanyaan itu bisa memiliki konteks individu, keluarga, budaya dan bangsa yang masing masing memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Ketika kita mulai mengabaikan masa lalu pada saat itu kita akan mulai kehilangan jejak yang akan digunakan untuk merekonstruksi ”jati diri” kita.

Mendidik kesadaran sejarah tidak saja berkaitan dengan upaya mentransfer informasi tentang masa lalu keluarga atau trah, masa lalu sebuah budaya atau perjalanan kebangsaan, tetapi lebih pada bagaimana seseorang memposisikan diri dalam mata rantai generasi dalam proses budaya. Posisi yang dimaksud dalam hal ini adalah peran dan fungsi seseorang atau suatu komunitas dalam proses sejarah menuju budaya yang bermartabat dengan segala aspeknya. Dalam konteks ini seseorang atau suatu generasi membutuhkan informasi tentang masa lalu yang jujur, transparan, dan disampaikan dengan kearifan.
Sejarah Nasional yang saat ini mulai berani diperdebatkan, harus diterima sebagai suatu kenyataan yang diakui kebenarannya pada zamannya, dan bermanfaat untuk mendukung suatu kepentingan pada zamannya. Sikap kritis terhadap penulisan sejarah saat ini disebabkan karena semakin banyaknya informasi pendukung yang dapat dijadikan bahan diskusi dan kritik intrinsik sejarah. Permasalahannya adalah siapa yang akan berfungsi arbitrase dalam kritalisasi sejarah menjadi sejarah yang jernih sebagai tempat bercermin.

Perekayasaan dan manipulasi alur sejarah akan melahirkan generasi dan kebudayaan yang ahistoris dan pada saatnya akan tersesat karena tidak mampu lagi menemukan salah satu mata rantai ke akar yang menghidupinya. Kondisi seperti ini tidak saja terjadi pada penulisan sejarah nasional, tetapi juga pada sejarah lokal. Dalam proses penyadaran sejarah, proses kesejarahan disajikan secara lengkap, dengan sistem periodisasi yang mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.

Dengan pola pemikiran historiografis tersebut, maka pendidikan kesadaran sejarah merupakan proses transformasi kesejarahan yang diaktualisasikan dalam proses pemikiran kritis yang konstruktif. Dalam aktualisasinya, ada beberapa pertimbangan strategis yang perlu mendapat perhatian antara lain :
1.    Tidak menempatkan sejarah sebagai nostalgia atau romantisme masa lalu atau pelarian dari tekanan realisme yang penuh masalah.
2.    Memahami sejarah sebagai kerangka perjalanan kausalitas antara masa lalu masa kini dan masa depan.
3.    Sejarah harus dipandang sebagai realitas yang terus menerus bergerak dan tidak berujung pada harapan-harapan yang a historis, seperti ratu adil dan sejenisnya.
4.    Sejarah harus disajikan sebagai materi penyadaran dengan obyektif dan tanpa ada kepentingan selain untuk keberlangsungan proses sejarah secara normal.
5.    Informasi sejarah harus rasional, memenuhi standar historiografi yang membebaskan subyeknya dari mitos dan kultus. Dengan kata lain, peninggalan dan bukti sejarah yang disajikan harus memenuhi persyaratan kritik intrinsik maupun ekstrinsik.

Dalam rangka transformasi kesejarahan dan membangun kesadaran sejarah, maka pendidikan sejarah harus dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan media. Untuk itu memang harus melakukan perekayasaan sistem secara komprehensif karena ruang lingkup sejarah yang sangat luas dan kompleks. Pendidikan kesadaran sejarah tidak bisa terlepas dari sistem dokumentasi yang kuat dan kemampuan menggunakan dokumen dan bukti-bukti sejarah (ideofact, sociofact, artefact, dll) dengan cermat. Mungkin disinilah letak kelamahan kita, karena kita tidak memiliki sumberdaya manusia yang relevan seperti sejarawan, arkeolog, filolog, dan sejenisnya.

Kondisi pendidikan kesadaran sejarah saat ini yang paling mungkin dilakukan melalui institusi pendidikan, wisata sejarah, museum dan kearsipan. Untuk itu perlu dilakukan beberapa pembenahan penting seperti :
1.    Penulisan Sejarah Lokal dengan obyektif dan menggunakan metodologi serta pendekatan historiografi,
2.    Perekayasaan kurikulum sejarah yang mengutamakan kesadaran sejarah, bukan pada transfer informasi kesejarahan.
3.    Penataan dan pemeliharaan warisan budaya (situs dan benda cagar budaya) sebagai bukti sejarah dengan deskripsi yang rasional dan faktual.
4.    Peningkatan sumberdaya manusia tenaga kearsipan baik dalam bidang profesionalitas dan penguasaan substansi dan metode kesejarahan.
5.    Pembinaan guru sejarah, sumberdaya manusia yang bekerja pada bidang kesejarahan serta masyarakat sejarawan sebagai mitra dan jejaring kerja dalam pembinaan kesadaran sejarah masyarakat.

Pada akhirnya, kesadaran sejarah sangat dibutuhkan dalam rangka membangun bangsa yang maju, memiliki jati diri yang bermartabat. Dengan kesadaran sejarah ini masyarakat dapat mencatat akumulasi pengalaman sejarahnya masing-masing untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Uupaya ini dalam kondisi masyarakat Indonesia dan NTB pada khususnya masih sangat memerlukan dukungan dari kebijakan pemerintah sebagai patron.

 


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
kesadaran sejarah itu penting tergantung pada cara pandang kita tentang manfaat dan mudharatnya. Manfaat mudharat ini juga sangat tergantung pada batas-batas pemahaman tentang makna sejarah. Sebagaimana akar katanya, sejarah (dari bahasa Arab) syajarah yang berarti pohon, pemaknaan majas identifikatif yang menggambarkan pohon keluarga berpangkal, bercabang dan beranting. Dalam bahasa arab untuk menunjuk pada istilah yang mirip dengan sejarah dalam bahasa Indonesia dikenal kata tarikh.
Memahami kesadaran sejarah niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara terbalik bisa dilukiskan begini; kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan. Kesadaran tentang sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.


3.2. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun agar penulis mendapatkan membelajaran baru. Dan semoga makalah ini dapat menjadi tempat mendapatkan ilmu pengetahuan baru.



 


DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar